Judul
Malam
antara aku dan cahaya
tiada punya jarak
kalau gelap
mati malam
senantiasa milik cahaya
walau cuma tetes-tetes air lilin
memerdekakan api
sekujur perjalananku jadi bulan-bulanan malam
bintang mengepungku
menyiramku
semakin basah kuyup yang menjadi aku
tolong!
dari dalam apa?
angin lalu lalang
awan menggertak bumi
kalau namun rerumputan keluh berkaca:
biasanya angin menelungkup di pegunungan dan kehabisan bahan bakar
Kendari,
2012
p a
t a h
riwayat malam
senandung jatuhnya gerimis dari sela pagar mata
mengaliri luka, duka, dan malam yang terbantai
ke dalam senyap
apa yang kau ngerti?
dasar luka?
kira-kira berapa banyak rindu telah kau tebang
dukaku luka
sendiri aku berpacu dalam angin
yang melebur bintang dalam kelabu
dan dia yang pernah datang
seperti tak ada
kau yang menyalahgunakan cinta
senantiasa berkata dusta
sebagaimana kau ciptakan kaki dan tangan dari lidahmu
menjilati api
sedang yang terkatup
menenggelam diri
dukaku luka
Kendari,
2012
.menggapai
dalam diri (Amel), ruang tak ruas
Sajak
Malu
awan belantara mengguyur ladang-ladang
menanam becek di jalan-jalan
sementara para mahasiswa botak
menanam tanda tanya dalam gaib hujan
aku mau malu
hujan datangnya tidak malu-malu
aku, ojek-ojek arisan, perempuan mustika, remaja-remaja renta
membelakangi hujan
ngambil buah-buah kering jemuran
dulu, sekala awan jadi rimba
aku mau takut
hujan datangnya tidak takut-takut
merampas tanah-tanah surga
mengenduskan basah dan dendam basah
seperdua senin
proklamasi hujan tak surut temu
tapi di antara hujan dan proklamasi
seorang hedonis bersabda tentang hewan ternak
yang dipasang di pintu masuk kota
sepertiga tahun telah
angin menjalani trotoar
menyeberangi zebracross di sungai-sungai, lereng, laut, dan di bawah
ranjang para penderita sipilis
jalan-jalan penuh dengan sesak angin
sedang hujan
hujan terlantar di jalanan
walau seperti basah
tapi basah tidak lagi seperti hujan
awan jadi rumput-rumputan langit
menampung senyum-senyum panas
kepala yang berkepala batu
semakin batu
batupun kelaparan
dan dedaunan berusaha kenyang
aku mau malu
ini jalan tak bermata air
tak buta
yang mengalir tak kembali
tak berdusta
ini langit tak dangkal
tak sempit
yang tenang tak berbuih
tak beranak
siapa berkata dan tidak berkata
mati tidak punya kasih sayang
dan air muka matahari
terbanting di arena
mencari air
tapi air dikubur hidup-hidup
siapa berkata dan tidak berkata
malu!
Kendari,
2012
Keberangkatan
terbaring daun-daun
mengalas pada batu-batu pucat
melepas punggung angin
tak terhitung kembali berapa suara memanjat inderaku
terpungut detik
seperti aku
seperti matahari mencubit kulit-kulit pagar
terlalu sadis untuk berlari
lalu mati
dibantai hari
masih terlalu dini
menghindar dari caci maki
kutelan duri
agar luka makin gatal
dan darah lebih matang
terserah berapa lidah menjilati kaki
aku hanya sangat ingin
menikmati daun-daun
turun bagai rintik-rintik
dan mati
juga menyusun jengkal-jengkal tangis
memantul pada batu-batu yang menikam jejak
segala jadi
tengoklah suara
mendiiiidiiiih
tapi aku menggigil
berkali aku berbisik
angin menjerat
berkali aku pergi
Kendari,
2013
Secangkir
Duka
jauh langitku meninggi
aku memanggil nama-Mu
dan nama-Mu begitu tulus mengalun
ketika malam lahir kembali dari rahim maghrib
tapi kali ini aku berduka
aku saksikan wujud adzan
terpental dan berdarah-darah di alas-alas dosa
terkapar di sudut diagonal dunia
dalam angin aku menjelma kata
siapakah kira-kira yang menelanjangi agama-Mu
dekat nama-Mu
menitik-nitik dari langit-langit doa dan dari telapak doa
titik embun menghembus dan meminta
menyejuk panas dosa
yang merintih, yang sayup-sayup turun
antara luka dan duka
langit makin tinggi terangkat
tanah-Mu, laut-Mu, angin-Mu, hujan-Mu
ditumbuhi dengan dosa
ayat berjejal di bumi
basah sepi, basah duka
aku terseret hingga darah malam begitu melupakan terang
dan putih bening suci kalimat wudhu
membasuh lail-Mu
menanam asma-Mu
taman-taman doaku
di langit-langit lidahku
jika air mata adalah butir-butir dzikir
mengalirlah!
seperti matahari mengairi daun-daun
karena aku ingin melihat dunia rasul di rumah-Mu
Kendari,
2013
Kepada
Anak-Anak Ayah
kertas mengembun di wajahmu
detik mengutus panas di tepi darah
kembali terkembang telur-telur setan
mempercepat mati di kamar-kamar sepi
lalu kau asik mencubit-cubit tanah
mempersia ruang
kulit-kulit angin menyembunyikan suara
kepalan rasa sakit mengalungi hawa
dan halaman yang tak pernah berbunga
mengusut di bawah buku-buku yang beruban
sewaktu kau menetas di surga
menghampa hati
anakku
jangan kau tiup matahari itu
lepaskan jerit langit yang mempercukai wajah
jangan kau telan lagi rembulan
karena seperangkat luka-luka mengampas
dan berlari ke jalan-jalan poros
begitu kau memburu bayanganmu sendiri
dan darah muncrat, memanjang, berangkat ke lautan
maka menarilah dengan dua pisau
sebelum kau bunuh dirimu dari nista
Kendari,
2013
Bukan
Sebuah Puisi, Melainkan Dirimu Sendiri
tidak seperti kemarin
aku tidak melihat adanya bulan
bahkan malam ini
sengaja aku tidak memberitahukan ini kepada malam
buat apa?
malam selalu tahu kemana bulan pergi
kemana angin beranjak
tapi yang tidak ingin kuceritakan kepada malam
bahwa sekembang senyummu pagi tadi
berkali-kali mengetuk pintu mataku yang buta
lalu wangi pandangmu mengubah musim di jalanku sendiri
ini mungkin terlalu jujur
kalau aku harus puisikan
aku tidak tahu
dengan bunga apa aku harus mempersamakannya pada wujudmu
dan dengan apa pula aku meniupkannya dalam kertas tentang warnamu
seolah kau mengambil seluruh hak isi puisi
jadi, kalau aku harus puisikan
mustahil
Kendari,
2013
Hanyut
Maut Laut
pasir-pasir pesisir
disisir buih
membawa bau karang Februari yang direnggut angin
terlalu lalu kau mendekap waktu
menggali laut
sesuap untuk anakmu yang bergaram disulam pantai
meski hanyut kulitmu diludahi terik
tak lebih hanyut dari maut yang membelai istrimu
kekar kayuhanmu
mengibas layar
mengikut juga gelap
sampai lagi jangkarmu mengait matahari
melilit dermaga
Kendari,
18 Oktober 2014
Langit Berbatu
sepenggal nyanyi terantuk angin
mengulang hunjam jelmaan kunang-kunang
keniscayaan melembak ribut pergelangan
cahaya
menikam lanau mataku yang diketuk-ketuk
sepi
begitu jejak terhampar melucut diri
aku beku memandang bulan dibungkus daun vernonia arberoa
awan kumulonimbus berdekap-bergulung
entah berkaca, entah berpungkur
lalu batu-batu cakrawala, tak cukup
kalkulasi
dan bukannya ranjing kepalaku
mencaci muka sendiri
di riak bayang-bayang yang dikasari purnama
terlalu kicau peraduan
tawa-tawa lepas, perlahan-lahan
berasimilasi
membuka gelombang kecil di teluk mata
penyajak sepertiku seharusnya tak punya
muka
pusparagam hidup berhaluan di berbagai
pintu
membawaku ke padang kaolin untuk beternak
kata-kata
tapi kata-kata sendiri merobek layarku
juga jangkar merapuh
aku tidak bisa berlabuh
seperti bau bunga kenikir
terasing aku pada bumi yang anjing
tidak bisa beranjak
tidak bisa menyebut a atau b
tapi, seingatku Tuhan tadi mengirim sirat:
kepada hambaKu
di rumahKu
(berisi pendaratan jangkrik, juga lekukan
reranting yang menggelitik langit)
lalu di dadaku tumbuh mesotoraks
kemestian yang harus dimestikan sebagaimana
mestinya
aku terbang tidak mencapai apa-apa namun
tercapai
Kendari, 10 Desember 2014
Kematian Meraja
Seakan gelap kembali meraja
Begitu tenggelam
Hanyut pula laut
Tinggal bisik-bisik jin
Di tanjung itu
Meraja pula hujan
Maka tak kembali langit
Dan di pojok itu
Mayat-mayat gemintang jadi sambal makan
malammu
Batang-batang tembakau (merokok membunuhmu) juga sebungkus kopi
Ahhh sedikit api neraka…
Bisa jadi surga
Asap meliuk-liuk di udara
Lalu angin menemukanmu di persimpangan
Sehabis pertemuan itu kau tak lagi menoleh
Kendari,
2015
Terbit
Reda pagi dari embun
Lebar makna tak menyamakan langit
Sejak memetik lagi kelahiran kembang
Sedikit riak-riak menjelma bayang-bayang katedral
Remah-remah dedaunan
Menelentang sepanjang arus perjalanan
Sesampai di pijak
Biarkan dulu tekukur itu bercakap pada kandangnya sendiri
Atau padamu
Sebelum kita susun nama-nama jarak
Dari sini gemulai matahari membelai-belai
Sketsa pandangan terpampang berhelai-helai
Dan mega-mega meruang tercerai-cerai
Mengarungi pagi yang terus diderai-derai
Kendari,
1 Juni 2015