Rabu, 04 November 2015

PENGUMUMAN LOMBA AKSI MENULIS SASTRA PESONA LASTRA 2015

*LOMBA MENULIS PUISI SMA/MAHASISWA PESONA LASTRA 2015
  1. JUARA 1: MUHAMMAD ALI FAQIH (SETAMPUK BAYANG MAHAPATIH RASUL) UGM
  2. JUARA 2: ARISTYA PENDRIANI (PERTANYAANKU) SMA N 1 SLAHUNG PONOROGO
  3. JUARA 3: ARISTYA PENDRIANI (AKU TAKUT AYAH DAN IBU BERDOSA) SMA N 1 SLAHUNG PONOROGO

*LOMBA MENULIS CERPEN SMA/MAHASISWA PESONA LASTRA 2015
  1. JUARA 1: ALDY RAMDANI (PESAWAT KERTAS SALAH ARAH) SMAN 1 KADUGEDE
  2. JUARA 2: CHAERUMAN THARIQ AZIZ ANWAR  (KEBAJIKAN BERSELAPUT HINA) SMA DARUL ULUM 2 JOMBANG BPPT CIS
  3.  JUARA 3: ANGGRAENI WINDI ROSARI (KEJORA KECILKU) SMAN 1 PROBOLINGGO

*LOMBA MENULIS NASKAH DRAMA SMA/MAHASISWA PESONA LASTRA 2015
  1.  JUARA 1: M. TRI ATMOJO (STEREOTIP) UNIV. SEBELAS MARET SURAKARTA
  2. JUARA 2: HANIFA ARTAFANI BIASMARA (MALAM ENGGAN BERLALU) SMAN 1 PACITAN
  3. JUARA 3: RAMDA SARI ODE (SABDA CINTA UNTUK MAMA) UNIV. HALU OLEO


CATATAN: BAGI PARA PEMENANG LOMBA DIHARAPKAN AGAR SEGERA MENGIRIMKAN NO.REKENING SERTA ALAMAT LENGKAP KEPADA PIHAK PANITIA (085241970244), UNTUK DIKIRIMKAN HADIAH, SERTIFIKAT DAN PIALA.

Sabtu, 10 Oktober 2015

WAKTU PERPANJANGAN PENGUMPULAN KARYA LOMBA AKSI MENULIS SASTRA

KEPADA SISWA(I) dan MAHASISWA (I) SELURUH INDONESIA LOMBA KEPENULISAN TINGKAT NASIONAL PESONA LASTRA 2015
DIPERPANJANGAN SAMPAI TANGGAL 17 OKTOBER 2015
Ayooo.. Buruann kirim kan karyamu.

Senin, 17 Agustus 2015

Pesona Lastra 2015



Pesona Lastra  2015 merupakan rangkaian kegiatan yang terdiri dari seminar nasional budaya, AKSI menulis sastra SMA dan Mahasiswa tingkat Nasional, AKSI Baca puisi SMA dan Mahasiswa Se-kota Kendari, AKSI musikalisasi puisi SMA Se-kota Kendari, AKSI tari kreasi SMA Se-kota kendari, AKSI mendongeng SD Se-kota Kendari, AKSI mewarnai TK Se-kota Kendari dan AKSI fashion show cilik (TK/SD se-kota Kendari).
Pesona Lastra  merupakan acara tahunan Laskar Sastra yang dilaksanakan untuk yang keempat kalinya, mengangkat tema besar “Berestetika dengan Sastra Beretika dengan Budaya”. Kegiatan ini merupakan  ajang  bagi  siswa  maupun  mahasiswa  Indonesia  untuk  menyalurkan pemikirannya dalam bentuk inovasi, gagasan, kreativitas, dibidang seni dan budaya dalam mengasah potensi karakter bangsa Indonesia.

Kamis, 06 Agustus 2015

Pucuk-Pucuk Sajak Dari La Ode Muh. Rauf Alimin



Judul Malam

antara aku dan cahaya
tiada punya jarak
kalau gelap
mati malam
senantiasa milik cahaya
walau cuma tetes-tetes air lilin
memerdekakan api

sekujur perjalananku jadi bulan-bulanan malam
bintang mengepungku
menyiramku
semakin basah kuyup yang menjadi aku
tolong!
dari dalam apa?
angin lalu lalang
awan menggertak bumi

kalau namun rerumputan keluh berkaca:
biasanya angin menelungkup di pegunungan dan kehabisan bahan bakar

Kendari, 2012


p  a  t  a  h

riwayat malam
senandung jatuhnya gerimis dari sela pagar mata
mengaliri luka, duka, dan malam yang terbantai
ke dalam senyap

apa yang kau ngerti?
dasar luka?
kira-kira berapa banyak rindu telah kau tebang

dukaku luka

sendiri aku berpacu dalam angin
yang melebur bintang dalam kelabu
dan dia yang pernah datang
seperti tak ada

kau yang menyalahgunakan cinta
senantiasa berkata dusta
sebagaimana kau ciptakan kaki dan tangan dari lidahmu
menjilati api

sedang yang terkatup
menenggelam diri

dukaku luka

Kendari, 2012
.menggapai dalam diri (Amel), ruang tak ruas


Sajak Malu

awan belantara mengguyur ladang-ladang
menanam becek di jalan-jalan
sementara para mahasiswa botak
menanam tanda tanya dalam gaib hujan

aku mau malu
hujan datangnya tidak malu-malu
aku, ojek-ojek arisan, perempuan mustika, remaja-remaja renta
membelakangi hujan
ngambil buah-buah kering jemuran

dulu, sekala awan jadi rimba
aku mau takut
hujan datangnya tidak takut-takut
merampas tanah-tanah surga
mengenduskan basah dan dendam basah

seperdua senin
proklamasi hujan tak surut temu
tapi di antara hujan dan proklamasi
seorang hedonis bersabda tentang hewan ternak
yang dipasang di pintu masuk kota

sepertiga tahun telah
angin menjalani trotoar
menyeberangi zebracross di sungai-sungai, lereng, laut, dan di bawah ranjang para penderita sipilis
jalan-jalan penuh dengan sesak angin
sedang hujan
hujan terlantar di jalanan
walau seperti basah
tapi basah tidak lagi seperti hujan

awan jadi rumput-rumputan langit
menampung senyum-senyum panas
kepala yang berkepala batu
semakin batu
batupun kelaparan
dan dedaunan berusaha kenyang
aku mau malu

ini jalan tak bermata air
tak buta
yang mengalir tak kembali
tak berdusta
ini langit tak dangkal
tak sempit
yang tenang tak berbuih
tak beranak
siapa berkata dan tidak berkata
mati tidak punya kasih sayang

dan air muka matahari
terbanting di arena
mencari air
tapi air dikubur hidup-hidup
siapa berkata dan tidak berkata
malu!

Kendari, 2012



Keberangkatan

terbaring daun-daun
mengalas pada batu-batu pucat
melepas punggung angin
tak terhitung kembali berapa suara memanjat inderaku
terpungut detik

seperti aku
seperti matahari mencubit kulit-kulit pagar
terlalu sadis untuk berlari
lalu mati
dibantai hari

masih terlalu dini
menghindar dari caci maki
kutelan duri
agar luka makin gatal
dan darah lebih matang

terserah berapa lidah menjilati kaki
aku hanya sangat ingin
menikmati daun-daun
turun bagai rintik-rintik
dan mati
juga menyusun jengkal-jengkal tangis
memantul pada batu-batu yang menikam jejak
segala jadi

tengoklah suara
mendiiiidiiiih
tapi aku menggigil
berkali aku berbisik
angin menjerat
berkali aku pergi

Kendari, 2013



Secangkir Duka

jauh langitku meninggi
aku memanggil nama-Mu
dan nama-Mu begitu tulus mengalun
ketika malam lahir kembali dari rahim maghrib

tapi kali ini aku berduka
aku saksikan wujud adzan
terpental dan berdarah-darah di alas-alas dosa
terkapar di sudut diagonal dunia

dalam angin aku menjelma kata
siapakah kira-kira yang menelanjangi agama-Mu

dekat nama-Mu
menitik-nitik dari langit-langit doa dan dari telapak doa

titik embun menghembus dan meminta
menyejuk panas dosa
yang merintih, yang sayup-sayup turun
antara luka dan duka

langit makin tinggi terangkat
tanah-Mu, laut-Mu, angin-Mu, hujan-Mu
ditumbuhi dengan dosa

ayat berjejal di bumi
basah sepi, basah duka
aku terseret hingga darah malam begitu melupakan terang
dan putih bening suci kalimat wudhu
membasuh lail-Mu
menanam asma-Mu

taman-taman doaku
di langit-langit lidahku
jika air mata adalah butir-butir dzikir
mengalirlah!
seperti matahari mengairi daun-daun
karena aku ingin melihat dunia rasul di rumah-Mu

Kendari, 2013



Kepada Anak-Anak Ayah

kertas mengembun di wajahmu
detik mengutus panas di tepi darah
kembali terkembang telur-telur setan
mempercepat mati di kamar-kamar sepi
lalu kau asik mencubit-cubit tanah
mempersia ruang

kulit-kulit angin menyembunyikan suara
kepalan rasa sakit mengalungi hawa
dan halaman yang tak pernah berbunga
mengusut di bawah buku-buku yang beruban
sewaktu kau menetas di surga
menghampa hati

anakku
jangan kau tiup matahari itu
lepaskan jerit langit yang mempercukai wajah
jangan kau telan lagi rembulan
karena seperangkat luka-luka mengampas
dan berlari ke jalan-jalan poros

begitu kau memburu bayanganmu sendiri
dan darah muncrat, memanjang, berangkat ke lautan
maka menarilah dengan dua pisau
sebelum kau bunuh dirimu dari nista

Kendari, 2013



Bukan Sebuah Puisi, Melainkan Dirimu Sendiri

tidak seperti kemarin
aku tidak melihat adanya bulan
bahkan malam ini
sengaja aku tidak memberitahukan ini kepada malam
buat apa?
malam selalu tahu kemana bulan pergi
kemana angin beranjak

tapi yang tidak ingin kuceritakan kepada malam
bahwa sekembang senyummu pagi tadi
berkali-kali mengetuk pintu mataku yang buta
lalu wangi pandangmu mengubah musim di jalanku sendiri

ini mungkin terlalu jujur

kalau aku harus puisikan
aku tidak tahu
dengan bunga apa aku harus mempersamakannya pada wujudmu
dan dengan apa pula aku meniupkannya dalam kertas tentang warnamu
seolah kau mengambil seluruh hak isi puisi

jadi, kalau aku harus puisikan
mustahil

Kendari, 2013




Hanyut Maut Laut

pasir-pasir pesisir
disisir buih
membawa bau karang Februari yang direnggut angin

terlalu lalu kau mendekap waktu
menggali laut
sesuap untuk anakmu yang bergaram disulam pantai

meski hanyut kulitmu diludahi terik
tak lebih hanyut dari maut yang membelai istrimu

kekar kayuhanmu
mengibas layar
mengikut juga gelap
sampai lagi jangkarmu mengait matahari
melilit dermaga

Kendari, 18 Oktober 2014



Langit Berbatu

sepenggal nyanyi terantuk angin
mengulang hunjam jelmaan kunang-kunang
keniscayaan melembak ribut pergelangan cahaya
menikam lanau mataku yang diketuk-ketuk sepi
begitu jejak terhampar melucut diri
aku beku memandang bulan dibungkus daun vernonia arberoa

awan kumulonimbus berdekap-bergulung
entah berkaca, entah berpungkur
lalu batu-batu cakrawala, tak cukup kalkulasi
dan bukannya ranjing kepalaku
mencaci muka sendiri
di riak bayang-bayang yang dikasari purnama

terlalu kicau peraduan
tawa-tawa lepas, perlahan-lahan berasimilasi
membuka gelombang kecil di teluk mata

penyajak sepertiku seharusnya tak punya muka
pusparagam hidup berhaluan di berbagai pintu
membawaku ke padang kaolin untuk beternak kata-kata
tapi kata-kata sendiri merobek layarku
juga jangkar merapuh
aku tidak bisa berlabuh

seperti bau bunga kenikir
terasing aku pada bumi yang anjing
tidak bisa beranjak
tidak bisa menyebut a atau b
tapi, seingatku Tuhan tadi mengirim sirat:
kepada hambaKu
di rumahKu
(berisi pendaratan jangkrik, juga lekukan reranting yang menggelitik langit)
lalu di dadaku tumbuh mesotoraks
kemestian yang harus dimestikan sebagaimana mestinya
aku terbang tidak mencapai apa-apa namun tercapai

Kendari, 10 Desember 2014




Kematian Meraja

Seakan gelap kembali meraja
Begitu tenggelam
Hanyut pula laut
Tinggal bisik-bisik jin
Di tanjung itu

Meraja pula hujan
Maka tak kembali langit
Dan di pojok itu
Mayat-mayat gemintang jadi sambal makan malammu
Batang-batang tembakau (merokok membunuhmu) juga sebungkus kopi
Ahhh sedikit api neraka…
Bisa jadi surga

Asap meliuk-liuk di udara
Lalu angin menemukanmu di persimpangan
Sehabis pertemuan itu kau tak lagi menoleh

Kendari, 2015



Terbit

Reda pagi dari embun
Lebar makna tak menyamakan langit
Sejak memetik lagi kelahiran kembang
Sedikit riak-riak menjelma bayang-bayang katedral
Remah-remah dedaunan
Menelentang sepanjang arus perjalanan
Sesampai di pijak
Biarkan dulu tekukur itu bercakap pada kandangnya sendiri
Atau padamu
Sebelum kita susun nama-nama jarak

Dari sini gemulai matahari membelai-belai
Sketsa pandangan terpampang berhelai-helai
Dan mega-mega meruang tercerai-cerai
Mengarungi pagi yang terus diderai-derai

Kendari, 1 Juni 2015